Contekan soal Donor ASI

ASI merupakan makanan alami terbaik bagi bayi. Bayi dapat tumbuh sehat, kuat, dan berbagai manfaat lainnya jika mendapat ASI eksklusif minimal 6 bulan dari awal kelahirannya. Nah, masalahnya tidak semua bayi bisa mendapatkan ASI ekslusif dikarenakan beberapa alasan. Misalnya, sang ibu meninggal, ibu sakit, bayi masuk NICU dan perlu ASI ekstra dalam waktu segera sementara ibu masih dalam kondisi pemulihan, ASI belum keluar, persediaan ASI menipis, dan sebagainya. Menyikapi kondisi ini, donor ASI menjadi solusi terbaik bagi yang membutuhkan. Inilah mengapa di jejaring sosial atau group WhatsApp, kita kerap melihat adanya permintaan donor ASI untuk bayi yang baru lahir dalam kondisi tertentu. Namun, semudah itukah pencarian dan pemberian donor ASI? Apa saja yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk memberikan si kecil ASI dari ibu lain? Kapankah diperlukannya? Bagaimana caranya?

Informasi yang dibutuhkan:

Dalam situasi dan kondisi seperti apa bayi memerlukan donor ASI? Yang diprioritaskan bayi yang bagaimana?

Donor ASI dibutuhkan pada saat kondisi ibu tidak memungkinkan menyusui langsung atau memberikan ASI perah untuk bayinya. Prioritas pemberian donor ASI ditetapkan berdasar indikasi: bayi prematur, sakit, atau bayi dengan ibu yang mengalami masalah kesehatan pasca bersalin sambil menunggu suplai ASInya bertambah. Secara medis, donor ASI berfungsi terapetik (sebagai obat) untuk bayi sakit dengan kasus-kasus short gut syndrome, sepsis, pemulihan luka pasca bedah saluran cerna. Situasi ‘darurat’ seperti bayi adopsi, bayi terlantar, ibu terpisah, ibu dengan bayi kembar, ibu sakit berat atau meninggal, bayi dari ibu dengan kontra indikasi menyusui terkadang juga menjadi pertimbangan kebutuhan donor ASI.

Apa saja yang perlu dipertimbangkan orang tua dari bayi yang butuh donor ASI ketika mencari/menerima donor ASI? (Misalnya, menurut aturan Islam, bayi yang menerima susuan dari satu ibu menjadi mahram dan kelak tidak diperbolehkan menikah, sehingga carilah busui dari bayi yang jenis kelaminnya sama dengan anak kita).

Pencarian donor bagi bayi yang lahir dari keluarga muslim memerlukan pemahaman tentang hukum hubungan mahram karena persusuan, yaitu: apabila bayi berusia kurang dari dua tahun disusui hingga kenyang minimal lima kali persusuan maka bayi tersebut menjadi mahram dengan saudara sesusuannya – anak dari ibu susu. Menurut syariat Islam, yang menjadi mahram bukan hanya seorang anak yang juga sedang disusui oleh ibu susu, namun juga seluruh anggota keluarga ibu susu. Inilah yang mewajibkan umat muslim selalu harus mencatat identitas ibu pendonor ASI beserta anak-anaknya, terlepas apakah anak ibu susu ini sama atau berbeda jenis kelaminnya dengan bayi penerima donor ASI. Yang paling penting ditekankan adalah memilih kualitas ibu pendonor, cari yang memiliki sikap dan akhlak yang baik selain itu secara fisik tidak terdapat kekurangan atau penyakit. Secara medis, donor ASI dinyatakan ‘aman’ setelah melalui serangkaian uji skrining terhadap kemungkinan penularan HIV-HTLV2-Hepatitis B-Hepatitis C-CMV-Sifilis-dll ditambah lagi prosedur pasteurisasi untuk mencegah transmisi penyakit melalui ASI. Di rumah sakit, secara periodik dilakukan pembiakan sampel donor ASI untuk memastikan bebas dari kontaminasi kuman yang berbahaya. Penelusuran riwayat konsumsi obat-obatan, makanan (kemungkinan ada sumber alergen), serta kebiasaan ibu pendonor juga menjadi pertimbangan untuk mendapatkan donor ASI yang ideal.

Sejak usia berapa bayi boleh mengonsumsi donor ASI?

Segera setelah lahir bayi sudah memiliki kebutuhan untuk mendapatkan kolostrum, yaitu ASI yang keluar di minggu pertama kehidupan. Berdasar hirarki asupan makanan bayi, paling ideal bayi mendapat kesempatan inisiasi menyusu dini untuk memperoleh kolostrum. Pada situasi tidak memungkinkan bagi ibu langsung menyusui bayi, ASI perah ibu kandung diberikan sebagai asupan. Nah barulah jika ibu tidak sanggup menyediakan ASI perahnya, alternatif berikutnya adalah ASI donor yang segar (disusui langsung oleh ibu susuan atau ASI yang baru diperah tanpa dibekukan). Status ibu pendonor menjadi masalah penting, tidak hanya kondisi kesehatan fisik, namun juga aspek yang lain. ASI donor perlu perlakuan khusus untuk menyelamatkan bayi dari ancaman transmisi penyakit ibu, yaitu prosedur pasteurisasi. 

Berapa lama bayi sebaiknya mengonsumsi ASI dari donor?

Lazimnya kebutuhan ASI donor hanya berlangsung temporer, setelah kesanggupan ibu menyusui bayi telah diperoleh maka tidak perlu lagi mencari ASI donor. Selama bayi membutuhkan ASI donor, seyogyanya diberikan dukungan dan bantuan praktis menyusui sehingga ibu mampu menyusui bayinya dan segera menyukupi kebutuhan asupan bayi tanpa harus bergantung pada ASI donor. Semua ibu yang bayinya memerlukan ASI donor, juga membutuhkan pendampingan konselor menyusui.

Perlukah penerima donor ASI meminta bukti-bukti bahwa si pemberi donor ASI dinyatakan sehat dan ASI-nya aman bagi bayi? Dengan cara apa?

Perlu, dan itu adalah hak penerima donor. Meskipun donor ASI diberikan secara anonim, tetap harus disertai dokumen hasil uji skrining dan catatan pasteurisasi serta bukti hasil kultur yang steril (tidak ada kontaminan).

Amankah meminta bantuan donor ASI lewat jejaring sosial atau aplikasi chat? Mengapa aman/mengapa tidak?

Dengan menyesal saya tegaskan bahwa berbagi ASI secara online lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya.

Pertama: tidak ada yang menjamin donor ASI yang tersedia memenuhi persyaratan medis: bebas dari transmisi penyakit – siapa yang melakukan skrining? bagaimana pasteurisasinya? apakah pola konsumsi ibu pendonor sesuai dengan kondisi bayi penerima donor ASI?

Kedua: selain soal nasab (bagi keluarga muslim), sifat-sifat yang bisa diturunkan lewat ASI sangat perlu diperhatikan – apa jaminan baik/buruknya DNA dalam ASI jika penerima donor ASI tidak mengenal secara baik latar belakang ibu pendonor?

Ketiga: tanpa pendampingan tenaga ahli, bisa jadi bayi diberikan donor ASI tetapi tidak ada upaya meningkatkan suplai ASI ibu kandungnya, sehingga proses menyusui yang alami semakin kecil akan berhasil.

Dari sisi pendonor ASI, perlukah ia melakukan tahapan skrining yang menyatakan ia dalam kondisi sehat dan ASI-nya dapat didonorkan pada bayi lain, selain anaknya?

Ya tentu saja. Ibu yang ingin mendonorkan ASI harus melalui beberapa tahapan skrining, yaitu: sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki kontra indikasi menyusui, sedang menyusui bayi yang usianya kurang dari 6 bulan dan suplai ASI untuk bayinya sudah terpenuhi, tidak ada riwayat transfusi darah atau transplantasi organ/jaringan dalam 12 bulan terakhir, tidak mengkonsumsi obat dan produk yang bisa mempengaruhi bayi, tidak ada riwayat menderita penyakit menular, seperti HIV-HTLV2-Hepatitis B-Hepatitis C-CMV-Sifilis, tidak memiliki pasangan seksual yang berisiko terinfeksi penyakit, seperti HIV-HTLV2-Hepatitis B-Hepatitis C-CMV-Sifilis, rutin menerima komponen darah, pengguna obat ilegal, perokok atau peminum alkohol. Kondisi payudara sehat, tidak ada mastitis atau infeksi yang rentan menular. Ibu diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium untuk tes HIV-HTLV2-Hepatitis B-Hepatitis C-CMV-Sifilis, dan apabila ada keraguan tes dapat dilakukan setiap 3 bulan.

Apa yang harus dipertimbangkan ibu penerima donor ASI? (Risiko keselamatan)

Ibu penerima ASI donor WAJIB menguasai teknis pemanasan pasteurisasi untuk menangkal kemungkinan kontaminasi. Sebagian resipien menginginkan kesamaan latar belakang religi, sosial, dan pola hidup. Khusus untuk resipien (penerima) neonatus, urutan prioritas pemilihan ASI donor adalah: kolostrum, ASI perah segar, baru kemudian ASI beku.

Bagaimana bila seorang bayi butuh ASI donor dengan cepat dan segera?

Hubungi dokter, bidan, atau perawat terdekat yang memiliki kualifikasi konselor menyusui. Sampaikan keluhan dan alasan mengapa menginginkan donor ASI. Tenaga kesehatan yang kompeten akan berusaha membantu mengatasi masalah dari akarnya, menawarkan solusi paling tepat, memberikan bantuan praktis serta info relevan untuk mendapatkan donor ASI.

Bagaimana idealnya tahapan dalam mencari pendonor ASI? Siapa yang pertama kali perlu dihubungi ketika memerlukan donor ASI?

Donor ASI idealnya dikelola oleh rumah sakit yang mengembangkan fasilitas atau unit khusus yang menangani proses skrining, pasteurisasi, hingga prosedur penyaluran donor ASI secara tepat indikasi. Manajemen donor ASI di negara kita membutuhkan tim khusus yang bekerja di unit donor ASI, dan tidak bisa semata-mata mengikuti standar Bank ASI yang berlaku universal. Bank ASI lazimnya memroses donor ASI dengan menyatukan ASI dari beberapa pendonor dan menjaga ketat kerahasiaan identitas pendonor (anonim) sebagai persyaratan etik. Hal ini tentu tidak mungkin dipraktikkan di Indonesia atau negara lain yang penduduknya mayoritas muslim, yang mewajibkan setiap pendonor dan penerima donor ASI saling mengenal dan menjaga silaturahim karena memiliki hubungan mahram dari persusuan.

Pemberian donor ASI sebaiknya bukan solusi permanen, melainkan tindakan sementara. Nah, setelah melalui masa krisis ASI, apa yang harus dilakukan sang ibu agar dapat memenuhi kebutuhan ASI anaknya lagi tanpa bergantung dari donor ASI?

Agar suplai ASI dapat segera memenuhi kebutuhan bayi, ibu disarankan untuk lebih sering menyusui dan mengosongkan payudara (memerah ASI). Oleh sebab itu teknik pemberian donor ASI paling afdol adalah menggunakan selang/sonde saat bayi menyusu langsung di payudara ibu. Selain itu, dukungan dari pasangan dan lingkungan terdekat, akan membantu menambah rasa percaya diri ibu sehingga ASI semakin lancar.

Di Indonesia, bagaimana aturan pokok dalam praktik donor ASI ini? Apa saja syarat dan ketentuannya?

Donor ASI telah disebut dalam Peraturan Pemerintah no 33 tahun 2012 tentang ASI Eksklusif. Dalam pasal 11 tercantum: “Dalam hal ibu kandung tidak dapat memberikan ASI eksklusif bagi bayinya, pemberian ASI eksklusif dapat dilakukan oleh pendonor ASI, dengan persyaratan: a. Permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang bersangkutan, b. Identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penemia ASI, c. Persetujuan pendonor Asi setelah megetahui identitas bayi yang diberi ASI, d. Pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunya indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 (tentang kontra indikasi ibu menyusui), e. ASI tidak diperjualbelikan.”

Apakah di Indonesia ada fasilitas skrining donor ASI? 

Di rumah sakit sayang bayi yang sungguh-sungguh memperjuangkan pemberian ASI untuk semua bayi, pengelolaan ASI donor dikerjakan mengikuti prosedur standar kendali mutu. Ketepatan distribusi WAJIB diantisipasi dengan melakukan pencatatan seksama agar mudah dilacak dan tidak tertukar dengan ASI milik bayi lain. Untuk menjaga keamanan ASI donor terhadap kontaminasi, WAJIB dilaksanakan pemeriksaan mikrobiologi atau kadar bakteri dalam ASI, pemantauan metode perah dan penyimpanan. Saat ini hampir semua fasilitas skrining risiko transmisi telah tersedia di laboratorium rumah sakit di Indonesia, kecuali tes HTLV. 

Apakah ada penelitian atau kasus (tahun berapa? berapa persen?) yg membuktikan ASI terkontaminasi virus?

Bukan hanya virus yang bisa mencemari ASI donor, kontaminan bakteri juga sering didapati jika prosedur pemerahan ASI, metode penyimpanan dan penyajian tidak memenuhi syarat kebersihan dan suhu. Bahkan jika distribusi ASI donor tidak mematuhi alur yang terjamin,ada kemungkinan cairan yang dipertukarkan bercampur zat selain ASI (diencerkan dengan air atau susu hewan). Ini tentu sangat merugikan resipian dan bentuk tindakan yang tidak bertanggungjawab.

FDA (US Food and Drug Administration) juga melarang menerima donor ASI dr internet atau perseorangan secara langsung. Donor ASI harus didapatkan dari organisasi/lembaga pendonor ASI karena sudah terlebih dulu melewati skrining. Bagaimana di Indonesia? Apakah ada lembaga atau aturan hukumnya?

Alur donor ASI dikelompokkan menjadi dua: formal sharing dan informal sharing. Alur formal difasilitasi oleh Bank ASI yang terstandar pengelolaannya, umumnya berupa suatu unit layanan donor ASI di rumah sakit. Sedangkan alur berbagi ASI secara informal biasa terjadi antar anggota keluarga atau pertemanan, baik berupa ibu susuan (wet nursing) atau pertukaran ASI perah (segar maupun beku). Beberapa tahun terakhir terjadi tren yang sulit dibendung, yaitu munculnya komunitas berbagi ASI yang mempertukarkan ASI via media sosial. Ini potensial memicu kerugian baik pada resipian maupun donor. Risiko transmisi penyakit akan sulit diprediksi dan dikendalikan. Sayangnya hingga saat ini belum ada peraturan yang khusus membahas hal-hal terkait donor ASI.

Di atas segala kebaikan ASI donor, yang terbaik tetap ASI ibu kandung. ASI donor adalah upaya pemberian makan pada bayi yang semata berdasar indikasi medis dengan prinsip sesegera mungkin beralih ke menyusu eksklusif pada ibu kandung.

dr Wiyarni Pambudi, SpA, IBCLC